Peran wanita
dalam berbangsa dan bernegara sangat penting. Menjadi istri dan ibu rumah
tangga adalah kodrat dan impian seorang wanita. Tetapi menjadi ibu tidaklah berarti
menghentikan peran wanita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sama seperti
kaum lelaki, kodrat wanita secara intrinsik dibekali potensi rohaniah untuk
mencintai kebenaran. Karena itu, Islam mewajibkan kaum wanita mencari ilmu agar
memiliki pengetahuan yang luas serta mampu melakukan penyelidikan-penyelidikan
agar menemukan kebenaran.
Fungsi wanita sebagai
ibu dalam rumah tangga tidak boleh menjauhkan mereka dari dunia keilmuan. Sebab,
dalam masyarakat wanita juga berfungsi sebagai “Imadul-Bilad” yaitu Tiang
Negara atau Pilar bangsa. Karena itu menjauhkan mereka dari dunia keilmuan
hanya akan menghasilkan anak-anak yang rapuh dari segi pendidikan. Kita harus
mendorong wanita Indonesia dalam semua posisinya, tetap dengan ilmu pengetahuan
agar mereka lebih berdaya dalam mendidik generasi mendatang menjadi generasi
yang terbaik di masanya.
Negara, melalui
peraturan dan perundang-undangannya telah membebaskan wanita Indonesia untuk
berpikir dan bersikap. Kaum wanita memperoleh kebebasan menjadi diri-sendiri
sesuai dengan batas-batas kewajaran budaya dan peradaban. Dari segi ini, isu
pembebasan wanita dari segi Idiil bukan lagi menjadi soal bagi kaum wanita.
Justru soal
yang kita hadapi ini adalah perkembangan budaya itu sendiri dalam memandang
eksistensi dan peranan kaum wanita. Di samping persoalan yang terkait dengan
kualitas kaum wanita itu sendiri, iklim sosial budaya memang belum sepenuhnya
mendukung pembangunan peran wanita.
Kenyataan memang
menunjukkan adanya kelompok bangsa yang masih melestarikan budaya tradisional yaitu
masyarakat yang menstereotipkan wanita sebagai makhluk yang harus serba
menurut, “tiang wingking” dalam bahasa jawa. Masyarakat seperti ini tidak
membayangkan bahwa wanita adalah sama berharganya dengan kaum pria. Tidak sedikit
masyarakat yang mengabsahkan pandangan ini dengan menginterpretasikan
dalil-dalil agama. Tentu saja yang disalahpahami dan disalahgunakan.
Di pihak lain
ada pandangan yang kelewat maju, yaitu yang terjebak ke dalam pola-pola yang
dipraktikkan wanita-wanita yang kehilangan kekhasan budaya bangsa. Kelompok ini
mencoba menampilkan makna kemajuan itu hanya melalui kulit luar modernitas,
seperti dalam berpakaian maupun dalam pola pergaulannya yang bebas. Akhirnya pembebasan
wanita yang hakiki tak tercipta, melainkan justru terjebak pada jenis
perbudakan baru yang bisa saja kita sebut dalam bahasa agama “kejahiliyahan
modern”.
Jadi, persoalannya
adalah bagaimana pembebasan yang dilakukan itu bisa membawa wanita Indonesia
lebih berharkat secara budaya maupun kemasyarakatan. Ini berarti kewajiban
belum berakhir untuk menunjukkan dengan tepat di mana tempat wanita Indonesia,
yaitu sebagai pilar bangsa demi tegaknya kehidupan yang lebih bermoral.
Nara Sumber : Dra. Hj. Tutty Alawiyah AS "Setetes Hikmah".