Suatu ketika
seorang sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang definisi dosa. Kata
Beliau “Dosa adalah pekerjaan yang engkau malu bila engkau melakukan
terang-terangan.” Selain itu beliau menjelaskan, “Dosa adalah sesuatu yang
menggusarkan hatimu”.
Definisi
tersebut tentunya berlaku umum bagi orang yang hidupnya masih dalam kewajaran,
yaitu yang belum menjadikan kejahatan sebagai profesinya. Lain hal dengan orang
yang hatinya telah tertutup oleh tumpukkan kejahatan. Mereka tidak lagi merasa
risih, gusar, dan merasa bersalah ketika berbuat dosa. Ada kesan bahwa
kejahatan itu tidak lagi menjadi kesalahan melainkan dianggap sebagai tradisi
sehari-hari. Seperti kejahatan korupsi, yang biasa dilakukan oleh siapa saja
dan bisa dimaklumi. Dan tidak merasa risih atau malu lagi untuk berkorupsi
karena dianggap sudah membudaya.
Terhadap orang
yang demikian itu, Alquran mengatakan : “sayang! Telah mengotori hati mereka
apa-apa yang telah (biasa) mereka lakukan.” (QS. Al-Muthoffifin : 14)
Maksud ayat di
atas, bukan berarti Allah tidak memberi hidayah, melainkan hidayah itu
terpental dan tak bisa menembus hati yang dikotori oleh pemiliknya sendiri.
Kalau sampai sebuah hati tak lagi mampu menasehati dirinya sendiri, nasehat
orang lain hanyalah nyanyian, tuntutan jadi tontonan, kebenaran jadi pelecehan.
Bila situasi demikian berlanjut, maka Al-Qur’an menggambarkan, “kemudian sesaat
itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.” (QS.Al-Baqarah
:74).
Hati yang keras
adalah hati yang gelap, menjadi tempat setan membangun tempat markas besarnya.
Dari hati yang gelap itu, setan menyebar ke seluruh anggota tubuh melalui
jaringan-jaringan darah. Di mana darah mengalir, disitu setan bertengger. Tak
ada batas lagi antara dia dan setan. Dia merasa tak lagi bisa hidup tanpa
kebiasaan jahatnya itu.
Terhadap
kelompok yang terakhir itu, Al-Qur’an menyatakan “Bagai gelap gulita di lautan
kelam yang diliputi oleh ombak di atasnya ombak pula, dan di atasnya lagi
mendung menggumpal. Gelap bertumpang tindih dengan gelap jika diulurkan
tangannya nyaris tak mampu melihatnya sendiri. Barang siapa yang Allah tidak
memberikan cahaya untuknya, tidaklah ia akan memperoleh Cahaya sedikitpun.”
(QS.An-Nur:40).
Siapa saja bisa
rusak hatinya sehingga kehilangan cermin diri. Orang awam bisa gelap hatinya,
tetapi lebih berbahaya lagi jika hal itu melanda orang terpelajar atau
cendekiawan. Sebab betapapun otaknya encer, nafsunya akan lebih dominan
daripada akalnya.
Untuk kita
ingat bahwa pada diri kita ada hati, tempat kita bercermin diri. Karenannya
perlu kita rawat dan bersihkan terus-menerus, sehingga hati kita menjadi
bersinar, lunak dan tenang. Dalam hadits Qudsy dinyatakan, “Bumi-Ku tak sanggup
memuatKu. Begitu juga langitKu. Yang dapat memuatKu adalah hati hamba-hambaKu
yang beriman, lunak dan tenang itulah (petunjuk) Allah berada. Dalam hadits
Qudsy dibyatakan : “BumiKu tak sanggup memuatKu begitu juga langitKu, yang
dapat memuatKu adalah hati hamba-hambaKu yang lunak dan tenang. Wallahu ‘alam.
Nara Sumber : Dra. Hj. Tutty Alawiyah AS "Setetes Hikmah"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar