Home

Senin, 28 Mei 2012

CERMIN DIRI


Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang definisi dosa. Kata Beliau “Dosa adalah pekerjaan yang engkau malu bila engkau melakukan terang-terangan.” Selain itu beliau menjelaskan, “Dosa adalah sesuatu yang menggusarkan hatimu”.

Definisi tersebut tentunya berlaku umum bagi orang yang hidupnya masih dalam kewajaran, yaitu yang belum menjadikan kejahatan sebagai profesinya. Lain hal dengan orang yang hatinya telah tertutup oleh tumpukkan kejahatan. Mereka tidak lagi merasa risih, gusar, dan merasa bersalah ketika berbuat dosa. Ada kesan bahwa kejahatan itu tidak lagi menjadi kesalahan melainkan dianggap sebagai tradisi sehari-hari. Seperti kejahatan korupsi, yang biasa dilakukan oleh siapa saja dan bisa dimaklumi. Dan tidak merasa risih atau malu lagi untuk berkorupsi karena dianggap sudah membudaya.

Terhadap orang yang demikian itu, Alquran mengatakan : “sayang! Telah mengotori hati mereka apa-apa yang telah (biasa) mereka lakukan.” (QS. Al-Muthoffifin : 14)

Maksud ayat di atas, bukan berarti Allah tidak memberi hidayah, melainkan hidayah itu terpental dan tak bisa menembus hati yang dikotori oleh pemiliknya sendiri. Kalau sampai sebuah hati tak lagi mampu menasehati dirinya sendiri, nasehat orang lain hanyalah nyanyian, tuntutan jadi tontonan, kebenaran jadi pelecehan. Bila situasi demikian berlanjut, maka Al-Qur’an menggambarkan, “kemudian sesaat itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.” (QS.Al-Baqarah :74).

Hati yang keras adalah hati yang gelap, menjadi tempat setan membangun tempat markas besarnya. Dari hati yang gelap itu, setan menyebar ke seluruh anggota tubuh melalui jaringan-jaringan darah. Di mana darah mengalir, disitu setan bertengger. Tak ada batas lagi antara dia dan setan. Dia merasa tak lagi bisa hidup tanpa kebiasaan jahatnya itu.

Terhadap kelompok yang terakhir itu, Al-Qur’an menyatakan “Bagai gelap gulita di lautan kelam yang diliputi oleh ombak di atasnya ombak pula, dan di atasnya lagi mendung menggumpal. Gelap bertumpang tindih dengan gelap jika diulurkan tangannya nyaris tak mampu melihatnya sendiri. Barang siapa yang Allah tidak memberikan cahaya untuknya, tidaklah ia akan memperoleh Cahaya sedikitpun.” (QS.An-Nur:40).

Siapa saja bisa rusak hatinya sehingga kehilangan cermin diri. Orang awam bisa gelap hatinya, tetapi lebih berbahaya lagi jika hal itu melanda orang terpelajar atau cendekiawan. Sebab betapapun otaknya encer, nafsunya akan lebih dominan daripada akalnya.

Untuk kita ingat bahwa pada diri kita ada hati, tempat kita bercermin diri. Karenannya perlu kita rawat dan bersihkan terus-menerus, sehingga hati kita menjadi bersinar, lunak dan tenang. Dalam hadits Qudsy dinyatakan, “Bumi-Ku tak sanggup memuatKu. Begitu juga langitKu. Yang dapat memuatKu adalah hati hamba-hambaKu yang beriman, lunak dan tenang itulah (petunjuk) Allah berada. Dalam hadits Qudsy dibyatakan : “BumiKu tak sanggup memuatKu begitu juga langitKu, yang dapat memuatKu adalah hati hamba-hambaKu yang lunak dan tenang. Wallahu ‘alam.

Nara Sumber : Dra. Hj. Tutty Alawiyah AS  "Setetes Hikmah"

Tidak ada komentar: