Home

Selasa, 17 April 2012

Membuang Lendir

Pertama kali saya mendengar istilah membuang atau membersihkan lendir dengan gurah, yaitu pada saat masih di Madrasah Tsanawiyah atau setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saya mendengar istilah tersebut dari seorang alumni yang menjadi guru dan mengajarkan saya di bidang murottal. Beliau melakukan gurah dengan tujuan membuang lendir-lendir menumpuk yang seringkali mengganggu pernafasan beliau saat melafadzkan ayat suci Al-Quran. 

Perubahan yang beliau rasakan sangat berbeda antara sebelum dan sesudah melakukan gurah. Selain gurah, beliau juga sering mengunyah kencur yang dapat membantu suaranya menjadi merdu. Dan beliau menyarankan kepada saya dan teman-teman untuk melakukan gurah, agar suara menjadi terasa ringan pada saat melafadzkan ayat suci Al-Quran. Namun, tidak satupun yang berani untuk melakukan gurah tersebut.

Ketika saya mengenyam pendidikan tingkat Madrasah Aliyah atau setingkat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA), mulailah saya punya keinginan dan keberanian untuk melakukan gurah. Sampai-sampai saya sempat cerita kepada orang tua akan keinginan saya untuk gurah. Dan Orang tua pun mendukungnya. Ternyata abie (bapak), senang melakukan gurah saat masih di pesantren dulu. Dan abie pun bercerita tentang pengalamannya. Keinginan saya untuk gurah pun menjadi sangat kuat dan yakin untuk melakukannya.

Keesokan harinya abie menanyakan kepada saya, apakah saya siap untuk gurah atau tidak. Jika siap, maka siapkan daun senggugu, dan bahan lainnya untuk gurah. Saya pun bergegas menyiapkannya. Ini merupakan pengalaman pertama saya untuk gurah. Dengan semangatnya saya menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan. Dan larutan untuk gurah pun telah selesai disiapkan.

Selanjutnya, abie meminta saya berbaring untuk di urut bagian wajah agar syaraf-syaraf menjadi rileks dan tidak tegang. Seusai di urut, ternyata abie meminta saya untuk tahan nafas. Karena disuruh tahan nafas, saya sempat kaget dan secara spontan bangun dari berbaring. Saya pun bertanya kepada abie, “kok, tahan nafas?. Bukannya kalau gurah itu di minum ya!”. Seketika  suasana hati menjadi tegang, takut, dan sempat ingin menggagalkan gurah.  Karena abie ingin  memasukkan atau meneteskannya (air daun senggugu yang sudah dicampur dengan bahan lainnya) ke dalam hidung melalui rongga hidung.

Abie pun menjelaskan tentang teknik gurah, bahwa untuk gurah tersebut ada yang bisa di minum, ada yang di teteskan ke dalam hidung, dan sekarang bahkan sudah dijual kapsul yang bisa langsung di minum. Karena saya ingin membersihkan dan membuang lendir-lendir yang ada saluran pernafasan (hidung), maka dari itu abie menyarankan kepada saya untuk melakukan gurah dengan di teteskan ke dalam hidung. Selain itu, khasiatnya lebih cepat yang di teteskan di bandingkan dengan di minum.Berkat adanya dukungan dan motivasi yang ummie (ibu) berikan, akhirnya saya jadi untuk melakukan gurah. 

Sekitar dua jam lamanya melakukan gurah, akhirnya ada manfaat tersendiri yang saya rasakan. Suara  menjadi terdengar lembut, bernafas menjadi lebih ringan, nafas tidak terasa tersedak-sedak, pokoknya terasa plong. 

Banyak lendir yang sudah saya keluarkan baik dari hidung ataupun mulut. Saya pun berkata kepada abie, “Tenyata di tubuh mengandung banyak lendir, ingus, ataupun racun-racun yang mungkin tidak terpikirkan oleh diri sendiri. Sampai-sampai, baru sekali melakukan gurah dihasilkan lendir yang banyak”. Karena tidak mungkin gurah dilakukan setiap hari, maka abie memberi saran kepada saya untuk meminum air hangat, agar membantu mengeluarkan racun-racun dari dalam tubuh. Pengeluaran racun bisa dari urin, ataupun keringat. 

Hal ini tentunya menjadi pengalaman tersendiri karena sudah berani membuang lendir dengan melakukan gurah. Kini, ketika saya ingin melakukan gurah kapanpun, saya tidak takut ataupun tegang lagi. Karena sudah mengetahui tentang pelaksanaan gurah dan merasakan hasilnya. Ini pengalaman saya tentang membuang lendir, bagaimana dengan kalian?.